Posted by anisya retno sari
Untuk seorang yang telah melewati beberapa fase pendidikan sepertiku, pasti
selalu bersinggungan dengan kata “reuni”. Dan
ini menjadi sebuah beban berat tatkala aku dihadapkan dengan permintaan
silaturahmi berbingkai reuni.
Banyak
alasan untuk menolak yang kukemukakan terkait hal biasa yang satu ini. Kenapa aku menolak? Woles, selalu ada
alasan syar’i dibalik keenggananku bertemu dengan teman lama. Bukan karena aku
sombong, atau seperti peribahasa kacang
lupa kulitnya.
Aku
berbicara tentang peranku sebagai seorang muslimah dan hamba Allah. Aku terikat
peraturan islam. Bukan sebagai seorang manusia sekuler yang memisahkan ranah
agama dalam kontekstual dirinya sendiri dengan kehidupan bermasyarakat.
Islam mengajarkan bahwa
bersilaturahmi merupakan perkara
wajib, yang bila dilanggar maka akan mendapat dosa di sisi Allah SWT. Tapi kita
harus tahu, bahwa konteks silaturahmi
dalam islam adalah menjaga hubungan baik dengan kerabat yang berstatus rahim-mahram. Bagaimana dengan menjaga
hubungan yang satu rahim tapi non-mahram? Islam menghukuminya tidak wajib.
Dari
konteks di atas dapat kita pahami bahwa reuni
hukumnya haram jika kita melakukan aktivitas ini dengan orang yang bukan mahram. Kenapa? Karena, orang yang bukan
mahram, haram hukumnya ber-khalwat (berdua-duaan) dengannya; haram
melihat, selain wajah dan kedua telapak tanganya; juga haram melakukan ikhtilâth
(bercampur-baur antara pria dan
wanita) dengannya.
Ini jauh bertentangan dengan fakta reuni kekinian, dimana
kita ditempatkan di tempat yang sama antara pria dan wanita (=ikhtilâth),
membicarakan keadaan, dan melepaskan kerinduan.
Apakah akhirnya reuni saklek haram? Inilah istimewanya
islam dengan keluasan hukum syara’nya. Konteks reuni bisa diartikan sunnah
tatkala kita tidak melanggar aturan khalwat dan ikhtilâth.
Artinya reuni hanya terjadi antara laki-laki dan teman laki-lakinya serta
perempuan dengan teman perempuannya.
Hal syar’i inilah yang akhirnya menjadikan alasan bagiku
untuk tidak terlibat dalam aktivitas reuni. Bukan karena aku sombong, atau seperti peribahasa kacang lupa kulitnya. Ini adalah Islam, agama yang telah kupilih
dengan pertimbangan amat matang.
Jika
aku bisa menjunjung tinggi aturan yang ada dalam kampus Padjadjaran tercinta. Kenapa
aku harus melalaikan aturan sempurna Islam yang akan mengantarkanku pada S.U.R.G.A.? tentu dibutuhkan kesabaran ekstra
untuk menundukkan hati ini dalam melaksanakan aturan Islam yang sangat
bertentangan dengan kehidupan bermasyarakat Islam. Tapi, bukankah menelan
kesabaran memang pahit? Tapi buahnya akan berujung dengan sesuatu yang sangat
manis bukan?
Untuk lebih jelas dalil dan hukumnya, bisa dibaca di,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar